Keluarkan Surat Elektronik Perihal Hak Jawab Pada Pemberitaan “Rangkap Jabatan Ketua TP-PKK.” FWTB : Kadis Kominfo tidak paham UU Pers.

TULANGBAWANG – Surya bangkit com–Polemik baru mencuat di Kabupaten Tulang Bawang setelah beredar surat elektronik dari Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) setempat yang ditujukan kepada beberapa media. Surat bertanggal Kamis,(02/10/2025) itu diberi perihal “Hak Jawab Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang Terkait Pemberitaan Rangkap Jabatan” yang menyoroti posisi Ketua TP-PKK Tulang Bawang yang juga menjabat Ketua PMI serta Ketua PERWOSI Tulang Bawang.
Alih-alih meredam perdebatan, surat tersebut justru menimbulkan gelombang kritik. Pasalnya, penggunaan istilah hak jawab dalam konteks tersebut dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam UU Pers Pasal 1 Ayat 11 dijelaskan bahwa Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sedangkan Pasal 1 Ayat 12 mengatur Hak Koreksi, yakni hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Jum’at (03/10/2025)
Sekretaris PWI Tulang Bawang, Suhir Mansyah, menilai surat tersebut kurang tepat secara terminologi dan berpotensi menyesatkan pemahaman publik mengenai mekanisme hak jawab dan hak koreksi dalam praktik jurnalistik.
“Hak jawab dan hak koreksi itu sudah diatur jelas dalam UU Pers. Tapi sebelum digunakan, sebaiknya dipahami dulu perbedaan mendasar keduanya, agar tidak salah kaprah,” tegas Suhir.
Ia juga mengaku sudah mencoba menghubungi pejabat Diskominfo untuk memberikan penjelasan, namun tidak mendapat respon.
“Saya sudah konfirmasi kepada Kadis dan Kabid terkait kekeliruan tersebut, tapi sampai sekarang belum ada jawaban,” ungkapnya.
Kritik juga datang dari kalangan media yang menerima surat elektronik tersebut. Jefri Prautama, S.Kom, Pimpinan Redaksi Lampungcity.co, menilai Diskominfo Tuba tidak memahami secara utuh UU Pers.
“Seharusnya pemerintah menggunakan hak koreksi, bukan hak jawab. Sebab PKK, PMI, dan PERWOSI itu bukan bagian dari struktur pemerintahan, melainkan mitra. Jadi, klaim pemerintah menggunakan hak jawab terasa janggal,” tegas Jefri.
Hal senada disampaikan Edi Supriyadi, Kabiro Jurnalpolisi.co.id. Ia mengaku juga menerima surat serupa, namun memilih tidak menanggapinya terlalu jauh.
“Kalau pemberitaan menyangkut kepala dinas atau bupati, barulah pemerintah punya posisi untuk melayangkan hak jawab. Tapi dalam hal ini, jelas tidak tepat,” ujarnya singkat.
Polemik ini menjadi cermin bahwa pemerintah daerah perlu lebih hati-hati dan memahami landasan hukum sebelum mengeluarkan surat resmi yang menyangkut ruang publik.
Salah kaprah dalam penggunaan istilah hak jawab maupun hak koreksi bukan hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga bisa merusak kredibilitas pemerintah dalam berkomunikasi dengan pers.
Dalam konteks demokrasi, pers dan pemerintah semestinya berjalan seiring dalam mengedepankan transparansi, akurasi, serta penghormatan terhadap aturan. Pemahaman yang keliru terhadap UU Pers justru berpotensi menggerus kepercayaan publik dan memperuncing polemik. (***)