Viral Rangkap Jabatan, Istri Bupati Tulangbawang Disorot Publik

TULANGBAWANG – Surya bangkit com–Gelombang kritik publik kembali menyeruak di media sosial. Kali ini sorotan diarahkan kepada Herlinawati Qudrotul, istri Bupati Tulangbawang Qudrotul Ikwan, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK (TP-PKK).
Herlinawati diduga merangkap jabatan setelah turut diumumkan sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Tulangbawang.
Isu ini mencuat setelah akun Facebook Irvan RM dan Kanjeng Rendra mengunggah informasi disertai foto kegiatan yang memperlihatkan Herlinawati dengan atribut PMI.
Unggahan tersebut menjadi viral dan memantik perdebatan luas, mengingat ada regulasi yang secara tegas melarang praktik rangkap jabatan dalam organisasi kemasyarakatan maupun lembaga independen.
Berdasarkan Permendagri No. 36 Tahun 2020 serta Perpres No. 99 Tahun 2017, keberadaan PKK ditegaskan sebagai gerakan masyarakat yang anggotanya tidak boleh mewakili partai politik, instansi, atau golongan tertentu.
Artinya, meskipun berstatus sebagai istri kepala daerah, keberadaan Herlinawati di PKK seharusnya menjaga independensi organisasi.
Sementara itu, Anggaran Dasar PMI secara eksplisit menegaskan larangan pengurus merangkap jabatan sebagai pejabat pemerintah, pejabat negara, maupun pengurus partai politik. Aturan tersebut dibuat demi menjaga independensi dan netralitas PMI agar tetap fokus pada misi kemanusiaan, tanpa terkooptasi kepentingan politik.
Kedua regulasi ini menegaskan satu hal: rangkap jabatan dalam PKK dan PMI bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga sosial dan kemanusiaan.
Publik mulai menyoroti adanya indikasi kepentingan terselubung dalam penunjukan Herlinawati. Dugaan muncul bahwa rangkap jabatan ini berpotensi membuka ruang pengaruh politik, termasuk kemungkinan intervensi dalam pengelolaan dana hibah yang dialokasikan pemerintah daerah kepada PMI.
Beberapa pihak juga mempertanyakan apakah rangkap jabatan tersebut merupakan bagian dari strategi politik halus, di mana istri kepala daerah tidak hanya berperan di jalur sosial tetapi juga merambah ruang strategis kemanusiaan yang sarat dengan akses dana publik.
Seperti disampaikan salah satu warga berinisial W, ia menegaskan pentingnya regulasi ditegakkan tanpa pandang bulu.
“Sepertinya ada yang salah. Secara aturan jelas rangkap jabatan itu dilarang. Sebab bila tetap dijalankan, efeknya akan menghambat efektivitas, membuat kinerja kurang optimal. Jangan terlalu serakah dengan jabatan, nanti malah keselek,” ungkapnya lugas.
Tokoh masyarakat Tulangbawang, H. Mulyadi, juga menyoroti hal ini. Ia menekankan bahwa kepemimpinan publik harus dibangun di atas etika dan kesadaran regulasi.
“PKK dan PMI adalah organisasi sosial yang membutuhkan kepercayaan masyarakat. Jika kepemimpinan diisi oleh figur yang rangkap jabatan, maka akan muncul persepsi negatif dan menurunkan legitimasi organisasi. Pemimpin harus memberi teladan, bukan justru melahirkan konflik kepentingan,” tegasnya.
Sejauh ini, belum ada klarifikasi resmi baik dari Pemerintah Kabupaten Tulangbawang maupun dari pihak PMI.
Publik menuntut keterbukaan dan transparansi, sebab independensi PKK dan PMI adalah fondasi penting agar organisasi ini dapat bekerja untuk kepentingan masyarakat luas, bukan kepentingan segelintir elit.
Dalam konteks demokrasi yang sehat, kritik dan sorotan semacam ini adalah bagian dari kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan.
Pemimpin daerah dituntut untuk peka terhadap etika publik dan regulasi yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan kesan penyalahgunaan kewenangan, apalagi membuka ruang bagi praktik nepotisme.
Kasus viral rangkap jabatan ini menegaskan pentingnya konsistensi pemerintah daerah dan pejabat publik dalam menegakkan aturan. Transparansi dan klarifikasi diperlukan segera, agar isu ini tidak semakin berkembang menjadi krisis kepercayaan yang lebih luas. (*)